Senin, 28 Januari 2008

Seandainya Orang Asia "Bisa Berpikir"*

Oleh Amin Rauf
Pada abad ke-15, paling tidak, peradaban Asia yang sudah mengalami kemunduran berada pada posisi selevel dengan Barat. Barat kemudian berhasil mengambil langkah besar ke depan. Pada abad yang sama, Barat yang dimulai dengan Bangsa Portugal melepaskan keterkungkungannya dan menciptakan koloni-koloni di seluruh dunia. Disamping itu, sampai abad ke-16 di Barat juga mengalami masa Renaisans (kelahiran kembali). Dua abad kemudian, tepatnya pada abad ke-18, Barat leading jauh meningggalkan Asia dengan Zaman Pencerahan (Enlightenment/Aufklarung) yang disusul dengan dua peristiwa besar yang sangat menentukan, yaitu Revolusi Industri (Inggris) dan Revolusi Politik (Prancis).

Sementara itu, Asia mengalami masa-masa limbung dan kemunduran yang luar biasa. Bahakan sampai pada awal abad ke-20, sebagian negara-negara Asia belum bisa melepaskan dirinya dari kolonialisme dan imperialisme Barat. Kondisi yang secara diameteral sangat bertentangan inilah yang menyebabkan sejarah dunia menjadi one way-street (bergerak satu arah) dari Barat ke Timur. Dengan kata lain, Timur (Asia) ditentukan, didikte, dan menjadi objek Barat berpuluh bahkan beratus tahun lamanya. 

Adalah Kishore Mahbubani yang gelisah atas persoalan ini. Lelaki Singapure keturunan India ini begitu rajin dan tekun mempublikasikan pemikiran-pemikrannya di surat kabar dunia. Dalam hiruk-pikuk perdebatan publikasi karya Samuel Huntington the Clash of Civilazation, seumpamanya, dia juga ikut menyumbangsihkan idenya dengan judul the Danger of Decadence: What the Rest Can Teach the West yang dimuat dalam media yang sama dengan karya Huntington, Foreign Affair.

Sebagian tulisan-tulisannya yang tersebar di berbagai media internasional kini dipublikasikan kembali dalam kemasan buku dengan judul: Bisakah Orang Asia Berpikir? Buku setebal 318 ini terdiri dari empat bagian. Bagian pertama, Bisakah Orang Asia Berpikir? Kedua, Nilai-nilai Asia. Ketiga, Asia Pasifik dan Asia Tenggara. Keempat, Masalah-masalah Global.

"Bisakah orang Asia berpikir?" Merupakan pertanyaan yang sensitif dan provokatif. Sensitif karena pertanyaan ini jika diajukan kepada "yang lain" (the Other) bisa bernada pelecehan, merendahkan dan menyebabkan ketersinggungan. Dan provokatif jika pertanyan ini diajukan pada "diri sendiri" karena merupakan refleksi diri atas kekerdilan, kelemahan dan ketidakmampuan yang pada akhirnya bisa membangkitkan gairah.

Meski demikian, Mahbubani mengajukan pertayaan itu ditujukan pada dua kubu sekaligus, Barat dan Timur (Asia). Kepada Asia: "bisakah orang Asia berpikir?" jika bisa kenapa orang Asia kehilangan seribu tahun yang lalu dan mundur jauh di belakang Eropa. Kepada Barat: "bisakah orang Asia berpikir untuk dirinya sendiri?" karena dunia sekarang berjalan dalam irama yang tidak seimbang. Sehingga, arus idepun diimpor dari Barat ke Timur yang menyebabkan ranah moral adiluhung (moral high ground) orang Asia terampas.

Sebagai orang Asia yang bertanya pada "diri sendiri", Mahbubani mengemukakan tiga kemungkinan jawaban, yaitu "tidak", "ya", dan "mungkin". Dengan jawaban tidak dia mengajak kita melihat posisi Asia seribu tahun yang lalu, sekitar tahun 997. Saat itu orang China (peradaban Konfusian) dan Arab (peradaban Islam) memimpin dalam bidang ilmu dan teknologi, dunia pengobatan dan astronomi. Sistem disimal dan angka 0 hingga 9 berasal dari India. Pembuatan kertas pertama ditemukan di China. Universitas pertama di dunia didirikan pada tahun 971 di Kairo. Sebaliknya, bangsa Eropa pada saat itu berada dalam masa yang disebut dengan Zaman Kegelapan (Dark Age), yang dimulai ketika kekaisaran Romawi runtuh pada abad ke-5. Lalu, pertanyaan besar muncul setelah seribu tahun lamanya, kenapa bangsa Eropa yang maju ke depan dan bangsa Asia ketinggalan zaman?

Jawaban "ya" didasarkan pada perkembangan bangsa-bangsa Asia pada dekade belakangan. Pertama, prestasi Asia Timur, yaitu kesuksesan Jepang yang diikuti oleh "Empat Macan Asia" (Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura). Bahkan perkembangan negara-negara tersebut lebih manakjubkan dalam jangka waktu yang dibutuhkan daripada perkembangan Barat. Butuh 58 tahun bagi Inggis (dari tahun 1839), 47 tahun bagi Amerika (dari tahun 1839) dan butuh waktu 33 tahun bagi Jepang (dari tahun 1880) untuk menigkatkan output ekonomi mereka. Yang lainnya, 17 tahun bagi Indonesia, 11 tahun bagi Korea Selatan, dan 10 tahun bagi China untuk melakukan hal serupa. Tentu, kata Mahbubani, ini bukanlah karena faktor keberuntungan tetapi karena intelegensi dan kretifitas mereka.

Kedua, adanya perubahan penting dalam pikran orang Asia. Selama brabad-abad, orang Asia percaya bahwa satu-satunya cara untuk meningkatkan diri adalah dengan cara menyontek Barat. Perubahan mental yang terjadi dalam pikran ornag Asia sekarang adalah bahwa Asia mempunyai masalah-masalah sendiri yang khas dan mempunyai solusi-solusinya sendiri. Oleh karnanya tidak bisa diselesaikan dengan cara menjiplak dan membebek.

Ketiga, saat ini bukan satu-satunya periode ketika orang Asia mulai bergerak. Mereka masyarakat Asia, seperti masyarakat Barat, mempunyai warisan budaya, filsafat, dan sosial yang kaya yang bisa dijadikan sandaran untuk mengembangkan masyarakat.
Sedangkan jawaban "mungkin" Mahbubani memulai dengan pertanyaan, seberapa banyak masyarakat Asia yang benar-benar percaya bahwa masyarakatnya bisa mencapai kemajuan sebagaimana masyarakat Barat? Petanyaan ini bekaitan dengan kondisi dan tantangan yang dihadapi masyarakat Asia. Pertama, krisis yang menimpa bangsa Asia pada pertengahan tahun 1997 dan dampaknya sampai sekarang masih membekas. Kedua, di sektor ekonomi, masyarakat Asia, sebagaimana yang dialami masyarakat Barat, akan melewati jalan panjang sebelum mencapai kestabilan dan keharmonisan politik. Ketiga, mengenai masalah keamanan. Di sejumlah besar bangsa Barat, perang telah menjadi sejarah masa lalu. Namun di sejumlah negara Asia masih sedang berkecamuk. Keempat, Asia akan mengahadap tantang dislokasi sosial jika terjadi revolusi ekonomi, sebagaiama Revolusi yang terjadi di Inggris. Kelima, yang menjadi pertanyaan mendasar, bisakah orang-orang Asia mengembangkan paduan nilai yang tepat yang akan memelihara nilai-nilai Asia—rasa hormat kepada kepentingan sosial, sifat berhemat, konservatisme dalam adat istiadat, dan rasamat pada pemimpin—sebagaimana yang terjadi di Barat—prestasi individu, kebebasan, hormat pada hukum dan institusi-institusi nasional.

Buku ini berbicara penuh otoritas karena ditulis oleh seorang yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang luas. Mahbubani, penulis buku ini, yang tercatat sebagai rektor pertama Civil Service Collage (CSC) Singapura, telah banyak memakan "asam-garam" di dunia internasional. Dia pernah menjadi manjadi sekretaris kementrian luar negeri Singapura (1993-1998) dan penah di tempatkan di berbagai negara termasuk pernah bekerja di PBB.

Di bagian kahir buku ini, Mahbubani semacam merekomandasikan 10 kaidah bagi negara-negara berkembang. Bagian terakhir dari kaidah itu, dia seolah ingin memulihkan kembali martabat bangsa Asia dan memproklamirkannya kepada banga Barat: “Anda tidak bisa menyingkirkan harapan. Manusia di dunia sejatinya sama saja. Apa yang di capai Eropa kemarin akan dicapai negara berkembang besok. Semuanya bisa terjadi.”

*Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SINERGIA Jogjakarta

Tidak ada komentar: