Senin, 04 Februari 2008

Cyberspace dan Matinya Dunia Realitas

Oleh Amin Rauf

Judul Buku : Matinya Dunia Cyberspace
(Kritik Humanis Mark Slouka terhadap jagat Maya)
Penulis : Astar Hadi
Penerbit : LkiS Jogjakarta
Cetakan I : Agustus 2005
Tebal Buku : xxii + 238 halaman
Cyberspace dan Matinya Dunia Realitas

Cyberspace (internet) merupakan fenomena mutakhir sebagai dampak dari pesatnya perkembangan teknologi. Cyberspace kini bukanlah barang ekslusif. Ia dinikmati oleh semua kalangan. Layaknya dalam drama, cyberspace menyediakan ruang-ruang tempat berjubelnya berjuta imaginasi dan beribu fantasi. 
Bagi para pamujanya, cyberspace merupakan dunia baru yang menjanjikan. Ia dianggap bisa melayani segala kepentingan manusia, yang bisa mengatasi segala keterbatasan manusia dengan mengembara dalam berbagai realitas tanpa batas. Segala sesuatu yang sebelumnya mustahil mejadi mungkin. Lalu muncullah harapan, euphoria, dan optimisme dalam menyambut datangnya abad baru ini, “Era Baru Digital”.
Namun tidak sedikit yang memandang sinis atas kecendrungan baru ini. Herbert Marcuse, tokoh Madhab Frankfurt, dalam bukunya One Dementional Man menyatakan bahwa individu-individu dalam masyarakat modern seperti sekarang ini telah terintegrasikan ke dalam system yang menghasilkan manusia berdimensi tunggal. System di mana kehomogenan bersembunyi di balik berjuta keragaman yang ditunjukkan oleh revolusi media massa. Lebih tajam, Jurgen Haberas, generasi ketiga Madhab Frankfurt melirik “sesuatu di balik layer monitor”. 
Menurutnya, teknologi memang tidak pernah netral dari kungkunagan-kungkungan kepentingan kaum kapitalis.Lebih spesifik, Jean Baudrillard di beberapa kesempatan dalam tulisan-tulisannya menelaah dampak dunia cyberspace ini. Dalam Simulations dia menyatakan bahwa di dalam masyarakat segala sesuatunya berkembang ke arah titik ektrim yang melampaui (beyond) menuju titik Hyper, yang disebutnya dengan Hyperreality (realitas palsu). Dalam bukunya yang lain, Consumer Society, dia melanjutkan bahwa akaibat dari simulasi-simulasi yang diciptakan oleh media massa maka muncullah budaya konsumerisme dalam masyarakat. Budaya yang yang tidak dilandaskan pada kebutuhan (need) tetapi pada hasrat (want).
Astar Hadi melalui bukunya Matinya Dunia Cyberspace, Kritik Humanis Mark Slouka Terhadap Jagat Maya ini mengkaji secara kritis dampak dari perkembangan dunia maya. Dia menelaah pemikiran kritis tokoh humanis Mark Slouka atau lebih tepanya telaah atas bukunya Ruang Yang Hilang: Pandangan Humanis Tentang Budaya Cyberspace Yang Merisaukan dalam perspektif hermeneutis.. Kenapa Mark Slouka? Ada apa dengan pemikiran Slouka? Mungkin pertanyaan ini yang muncul dalam benak saat melihat buku ini, lantaran nama tokoh ini kurang begitu akrab dalam jagat diskursus budaya pop (pop culture). 
Mark Slouka memang tidak begitu akrab di telinga pemerhati budaya pop media. Dia seolah terbenam pada tumpukan nama-nama besar seperti Jean Baudrillard, Roland Barthes, dan tokoh-tokoh filsafat kritis seperti Habermas dan Marcuse. Slouka sendiri tidak mengolongkan dirinya kelompok-kelompok “isme-isme” sebagaiamana toko-tokoh kritikus budaya pada umunya. Dalam segi pemikiran, nyaris tidak ada konsep baru yang coba ditawarkan dalam pemikirannya. Lalu apa yang menarik dari pemikiran seorang yang digolongkan pada kritikus humanis ini?
Astar Hadi tampaknya tertarik pada bahasa yang dilontarkan oleh Slouka. Sebagai seorang novelis dan dosen di bidang sastra, Slouka menyuguhkan cara lain dalam melontarkan gagasan melalui bahasa puitis nan kritis, yaitu melalui bahasa sastra. (hlm. 141)
Pemikiran Slouka yang coba diketengahkan oleh Astar Hadi tentang “matinya dunia realitas”. Matinya dunia relitas ini bukan lantaran ada yang membunuhnya, namun karena adanya “realitas tandingan” atau dunia cyberspace yang disebut oleh Baudrillad sebagai realitas simulacrum. Saat seseorang berasik-masuk dalam dunia ini seringkali tersesat dan tidak mampu lagi membedakan “realitas” dan “tampakan”. 
Dunia cyberspace ini yang akan mengisolasi kita dari hal yang pada dasarnya harus kita lakukan. Alih-alih memproyeksikan diri pada jejak-jejak teknologi dalam merancang ide besar teknologi (multimedia) yang “memberi kemudahan” dan “memanjakan manusia” dan menghancurkan batas antara manusia dan mesin, kita lupa bahwa di setiap penjuru dunia ini masih banyak saudara kita yang berjuang untuk sesuap nasi. (hlm. 145)
Hal ini menunjukkan bahwa mengakses internet hanyalah pemuasan nafsu informasi dan komunikasi sebagai wujud dari pemuasan estetis-individual yang malah akhirnya bermuarapaa sikap menafikan etik-sosial. Kritik ini nampaknya kenapa Mark Slouka ditempatkan sebagai pemikir humas. 
Lebih dalam lagi, Hadi mengungkapkan bahwa riuhnya perkembangan teknlogi yang berujung pada muncul fenomena cyberspace telah menggeser definisi lama kita tentang ruang, identitas, komunitas, realitas dan kompleksitas ruh manusia. Hasanah masing-masing komunitas menjadi satu kesatuan. Hal ini bisa dilihat dari bentuk dunia yang semakin homogen. Orang-orang berkeperibadian tuggal, berpakian seragam, dan bertingkah laku sama. 
Akhirnya, dari buku ini kita mafhum bahwa betapa perkembangan teknologi sekarang benar-benar telah sampai pada taraf mengancam eksistensi manusia.
*pernah dimuat dalam Komunitas Ruang Baca Tempo

Tidak ada komentar: