Sabtu, 16 Februari 2008

SEBUAH CATATAN DARI PANDEGELANG BANTEN

Oleh Amin Rauf

Suatu malam entah tanggal dan jam berapa, saya sudah enggak ingat, sebuah Pesan Pendek (SMS) masuk ke poselku. Setelah kulihat, pesan tersebut datang dari mas Eko Cahyono. “min, bisa nggak kamu ikut penelitian di Pandegelang” begitulah kira-kira isinya. “kalo bisa, besok siang, kau langsung berangkat” lanjutnya. Karena tidak ada tugas yang harus saya kerjakan di Jogjakarta setelah selesai wisudah, tanpa berpikir panjang, saya mengiayakan ajakan tersebut.

Keesokan harinya sekitar jam 14.30 WIB, saya langsung berangkat ke Bogor dengan menaiki Bus Maju Lancar. Sekitar jam 05.00 WIB, saya sudah sampai ke terminal Bogor, Baranangsiang. Bogor, bagi saya, adalah kota yang asing. Tidak pernah sebelumnya saya menginjakkan kaki ke Kota Hujan ini. Yang saya tahu dari kota ini adalah bahwa daerahnya sangat dingin, padahal pada kenyataannya Bogor tidak jauh berbeda dengan Jogja. Inilah barangkali sebagai konsekwensi logis dari perkembangan pesat dari kota ini, dimana kendaraan makin bertambah, bangunan-bangunan besar banyak berdiri, sementara tumbuh-tumbuhan makin banyak ditebang. Selain itu, yang saya tahu dari kota ini adalah puncak, tempat rekreasi yang sangat terkenal.

Dari terminal saya dijemput Yudi untuk sampai ke tempat Mas Eko. Di sana, sebelum meneruskan perjalanan ke pandegelang, saya beristirahat sejenak untuk menghilangkan rasa penat. Sekitar jam 13.00 WIB saya berangkat dengan mengendarai bus menuju Pandegelang. Ada dua jalur untuk sampai ke pandegelang. Ada yang bisa langsung ke Pandegelang, yang lainnya harus melewati kota Serang. Saya ambil jalur yang kedua walaupun jarah tempuhnya relatif lebih lama, karena yang pertama jalannya jelek, kadang macet, dan dengan kondisi bus tidak terlalu bagus. Dari terminal kota Serang, saya mengambil jurusan Padegelang. Sampai di pandegelang sekitar jam 18.30 WIB. Sebuah perjalanan yang sangat melelahkan. Perjalanan dari Jogja ke Pandegelang menghabiskan waktu kira-kira 22 jam. Namun, dalam perjalanan dari Bogor menuju Pandegelang saya merasa terhibur. Saya duduk dengan seorang pensiunan TNI yang sedikir “crewet”. Menurut pengakuannya, dia berumur berjalan 70 tahun. Sepanjang perjalan menuju terminal serang dia banyak berbicara tentang pengalamannya selama bertugas, terutama saat pergi ke Rusia, mulai dari hal-hal serius, seperti masalah sengketa Irian Barat, sampai masalah—maaf—sex. Suaranya yang masih bertenaga membuat orang di sekililing banyak mendengar. Kadang mereka ikut tersenyum mendengar Pak Tua itu bercerita dengan blak-blakan.

Sesampainya di Pandegelang saya langsung dijemput Mas Eko. Namun saya tidak langsung bertemu dengan mas Eko karena angkot yang saya tumpangi berhenti melebihi tempat dimana mas Eko menunggu. Ketika turun dari angkot saya benar-benar agak ketakutan. Beberapa tukang ojek yang parkir di tepi jalan langsung berebut mengerumuniku, lebih-lebih saya turun di tempat yang rada gelap. Setelah saya bilang bahwa saya akan dijemput teman, beberapa di antara mereka menjauh. Hati saya seketika agak lega. Setelah mengontak mas eko, saya kemudian mesti bertanya tempat dimana mas eko menunggu. Meski tempatnya tidak terlalu jauh, untuk menjaga sesuatu yang tidak diinginkan ( siapa tau bo..tukang ojek itu kecewa kepada saya, lalu berbuat sesuatu, apalagi saya tanya kepada mereka, lagian harganya cuma 2 rebu), saya menggunakan jasa salah satu ojek tersebut.

Setelah sampai di tempat dimana mas Eko menunggu, saya melihat jejeran tukang ojek yang menunggu tumpangan. Saking banyaknya, sampai-sampai saya mengira pekerjaan pemuda di desa ini seluruhnya adalah tukang ojek. Bukan hanya di tempat ini, sepanjang perjalanan selama naek angkot, saya melihatnya. Saya tidak tahu persis berapa rata-rata pendapatan pemuda setiap malamnya dari jasa ojek ini. Ongkos ojek berkisar dari Rp. 3000-4000. “daripada nganggur” kata salah seorang pemuda Sindanghayu. Pemuda yang menetap di tanagara memang rata-rata banyak yang menganggur. Kalo yang bekerja, mereka umumnya bekerja secara serabutan. Bagi mereka yang ingin bekerja tetap, mereka pergi ke kota, seperti ke Serang, bahkan ada yang ke Jakarta. Pemuda di sini juga pendidikannya masih relatif rendah. Mereka umumnya hanya tamatan SMP. Lulusan SMA saja bisa dihitung dengan jari. Sejauh yang saya ketahui, yang sedang melanjutkan ke perguruan tinggi di dusun Sindanghayu hanya ada satu orang, itupun seorang putri.

Dengan mengendarai motor, kami, saya dan mas Eko, langsung menuju rumah Pak Carik, Junani, di dusun Sindanghayu kelurahan Tanagara. Sebuah hidangan makan malam telah menunggu. “sengaja kami menunggu kamu Ros” kata Mas Eko, seolah-seolah menjadi tuan rumah baru (emang kelihatannya mas eko sudah mulai akrab dengan tuan rumah, lagian mereka sangat baek). Sejurus kemudian, kami—Amin to, mas Eko dan saya beserta tuan rumah, Junani dan bapaknya, Juemi menyantap makan bersama. Sebuah hidangan yang maknyuss dan saya menyantapnya dengan lahap. Maklum, selain masakannya enak, juga tenaga saya terkuras dan perut saya sangat kosong.

Junani adalah anak sulung empat bersaudara dari pasangan Juemi dan Ruhemi. Umurnya kira-kira 24 tahun. Dia lulusan sekolah menengah atas (SMA). Sebelum menjadi carik, dia sempat mengadu nasib di Jakarta. Karena di panggil oleh Salehuddin yang terpilih sebagai lurah di desanya, dia kemudian diangkat sebagai carik di sana. Dialah yang berjasa besar bagi terlaksananya kegiatan penelitian ini. Dia menjadi pendamping setia kami saat wawancara.

Tanagara adalah sebuah desa yang berada di tempat yang lumayan tinggi, entah berapa ketinggian di atas permukaan laut. Cuacanya lumayan dingin. Di pagi hari kami baru berani mandi setelah di atas jam 9.00. Desa Tanagara ini terdiri dari tiga dusun, yaitu dusun Sindanghayu, Carodok dan Cidahu. Masing-masing terdiri dari tiga RT, yaitu masjid, kaler, dan ....

Sebelum tiba di rumah pak carik, kami harus melewati jalan berbatu, menanjak, lagi gelap. Sebuah motor Supra Fit milik mas Eko, meski kondisinya masih bagus, naik dengan agak memaksa. Dulu jalan ini, menurut warga, pernah diaspal. Namun sekarang kondisinya seolah jalan ini belum pernah diaspal. Sebelumnya, menurut pengakuan seorang warga, jalan ini pernah mau diperbaiki. Namun karena alasan politik, akahirnya, jalan itu sampai sekrang belum juga diperbaiki. Katanya, pada pemilihan yang lalu ada orang dari daerah ini yang mencalonkan dan masyarakat di situ mendukung. Karena kalah, daeran ini juga tidak diperhatikan oleh calon yang menang.
Keesokan harinya, saya mesti pergi ke rumah pak lurah untuk meminta izin dan memperkenalkan diri. Saya ditemani oleh mas Eko. Siang itu pak luar sedang keluar. Sambil menunggu pak Lurah, kami berdua bincang-bincangan dengan keluarga pak lurah yang berada di daerah sekitar rumahnya. Mas Eko menggunakan kesempatan tersebut dengan mewawancarai. Karena saya belum paham tentang kuesionernya lantaran tidak ikut pengarahan, maka saya yang mengisi kuisioner dan mas Eko yang melakukan wawancara. Beberapa saat kemudian pak lurah datang. Namun karena pak lurah terlihat capek setelah datang dari bepergian, akhirnya kami mengurungkan niat untuk menemui pak lurah dan berjanji akan kembali sore harinya.

Pada siang itu kami melakukan wawancara ke sejumlah orang di Cidahu sehingga kami tidak bisa menepati janji ketemu pak lurah. Namun, saya dan mas Eko datang pada malam harinya. Sebelum sampai ke tempat pak Lurah, mas Eko bilang sama saya kalau pak lurah terkesan “meremehkan”. Untuk itu, kata mas Eko, kita terlebih dahulu harus melakukan sesuatu untuk menaikkan bergaining kita. Di hadapan pak lurah, dia bercerita banyak hal tentang kiprahnya selama ini. Dia bercerita tentang HMI, alumni-alumninya yang telah menjadi menteri dan teman-teman mas Eko yang telah sukses di Jakarta. Benar, seketika sikap pak lurah mulai berbeda terhadap kami. Dia mulai menampakkan keramahan. Pada kesempatan itu, kami juga melakukan wawancara dengan dia, dengan kapasitasnya sebagai lurah. Di akhir perjumpaan, kami diberi hidangan makan malam oleh Ibu Lurah.

Keesokan harinya, kami bertiga sudah mulai bergerilya ke rumah-rumah penduduk untuk melakukan wawancara. Hari demi hari kami lalui dan kami akhirnya sedikit banyak sudah mulai mengenal daerah ini. Sejauh pengamatan saya kurang lebih 50% rumah penduduk masih dalam bentuk rumah panggung. Motif memprtahankan rumah panggung ini adalah bukan karena untuk mepertahanakan tradisi tetapi lebih dikarenakan keterbatasan ekonomi. Orang yang berkecukupan secara ekonomi, kebanyakan telah meninggalkan rumah adat yang terbuat dari papan dan bambu ini dan beralih membangun rumah modern.
Sebagian besar penduduk daerah ini masih bekerja secara serabutan. Kadang menjadi petani, peladang, buruh bangunan, dan tukang ojek. Untuk di ladang, mereka bekerja susuai musim. Ada musim peteuy, duren, cengkeh, dan lain-lain. Pada musim peteuy, mereka bisa banyak meraup keuntungan yang lumayan stiap harinya. Di daerah ini, peteuy memang seolah menjadi makanan wajib. Makan seolah tidak sah kalau tidak ada selingan peteuy. Jika pergi ke tempat-tempat toilet, pasti terasa bauh peteuy. Selama di sana saya sendiri mencoba makan tapi saya mual-mual, tidak kuat dengan baunya. Mungkin karena tidak terbiasa.

Di daerah terdapat pondok yang sangat terkenal, bahkan sampai ke jawa timur. Bangunannya sederhana, berbentuk panggung yang terbuat dari kayu dan bambu. Sayangnya, setiap ada kesempatan ke sana saya tidak pernah ikut. Hal ini disebabkan karena kondisi saya yang kadang ngdrop. Yang tahu banyak tentang pondok ini mas Eko dan Amin to. Karena merekalah yang sering ke sana. Bahkan mereka pernah masak-masak bareng dengan salah seorang santri.

Pendiri pondok tersebut adalah orang yang sangat terkenal dan mempunyai kharisma di daerah Banten. Sebagaimana diakui warga, dia mempunyai kekuatan suprantural. Pernah pada zaman Orde Baru, ada ninja yang akan membunuhnya. Tapi keesokan harinya ada seorang yang tidak dikenal meninggal. Saat ini setelah Abuya Dimayati wafat, pengaruhnya masih sangat kuat. Pada malam jum’at makamnya banyak dipenuhi pengunjung, dari mana-mana. Sebagian mereka bahkan ada yang datang dari Serang. Mulai dari anak-anak sampai nenek dan kakek. Mereka datang untuk memanjatkan do’a kepada Allah melalui wasilahnya. Namun kalau melihat dari penuturan beberapa orang di kampung, orang yang datang ke makamnya bukan untuk sebagai wasilah, tetapi untuk meminta sesuatu kepadanya. Saya nggak tahu apakah banyak orang yang seperti itu di desa ini. Apakah ini merupakan indikasi dari keawaman mereka tentang ritual agama?
Ironisnya, meski pengaruh Abuya Dimyati sangat kuat, banyak pemuda setempat saat ini yang tidak mondok, yang tentunya menyebabkan mereka banyak yang awam tentang agama. Meski demikian, mereka tidak mengindahkan penyebaran agama (jihad) dengan cara-cara kekerasan. Mereka menolak aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh orang-orang yang oleh amerika dicap sebagai teroris. Kebanyakan masyarakat akan menolak seandainya salah seorang teroris tersebut tinggal di daerahnya. Cerita tentang amin to mungkin bisa menggambarkan hal ini.

Cerita tentang Amin to saya sudah dengar dari mbak Ana—istri mas Eko—saat aku di Bogor, sebelum sampai di Pandegelang. Namun saya tahu cerita lengkapnya setelah saya bertemu dengan mas Eko di Pandegelang. Ceritanya kurang lebih seperti ini. Seperti orang pada umumnya, sebagai tamu seseorang harus izin dulu ke tuan rumah. Begitu juga dengan mas Eko dan Amin to. Untuk tinggal di desa Tanagara—sebuah desa di kec. Cadasari Pandegelang—kami mesti izin dulu ke bapak Lurah. Setlah meminta izin, bapak lurah setempat agak keberatan. Setelah ditanyakan, ternyata alasannya karena Amin To mirip dengan salah seorang pelaku bom bunuh diri di tanah air, Abu Dujana. jika ditarik lebih jauh, selain karena pemahaman mereka yang tidak menginginkan tindakan kekerasan atas nama agama, ini juga mengindikasikan betapa isu terorisme yang diusung oleh Amerika beserta sekutu-sekutunya mengakar kuat sampai ke pelosok-pelosok desa negeri ini.

Setelah selesai wawancara dengan masyarakat di sekitar pondok, kami juga mewawancarai masyarakat yang tinggal dengan jarak 2-3 km lebih dari pondok. Kami memilih desa Keduengang. Pada siang hari kami berempat berangkat deengan mengendarai motor. Saya dengan Junani dan Mas Eko dengan Amin to. Desa ini berada di atas gunung. Cuacanya sangat dingin, tentu melebihi dari desa Tanagara. Di sana kami berhasil mewawancarai empat orang sebelum akhirnya kami disuruh pulang oleh tetua di Tanagara. Alasan kami disuruh pulang untuk keselamatan kami sendiri. Secara historis, masyarakat desa Tanagara memiliki hubungan yang kurang baik dengan Keduengang. Pemuda kedua kampung tersebut sampai sekarang juga kadang terlibat tawuran. Yang paling ditakutkan oleh tetua Tanagara adalah kekuatan supranatural (ilmu hitam) yang bisa berakibat fatal bagi kesalamatan kami. Hal ini sering terjadi. Penduduk Keduengang terkenal dengan kekuatan sepranatural. Bukan hanya lelaki, tetapi kaum wanitanya.

Malam harinya kami berangkat pulang, menelusuri jalan terjal berbatu di tengah-tengah hutan. Saya sedikit was-was karena ternyata rem motor yang saya kendarai bersama Junani tidak lagi normal. Untung, Junani sudah berpengalaman mengendarai motor di jalan yang rusak total seperti itu. Sesampainya di rumah kami sudah tidak tahan menahan kantuk dan lapar. Sehabis makan malam, kami langsung pulas.

Keesokan harinya kami harus memilih tempat lain sebagai gantinya. Kami memilih desa Pasir Peteuy. Pasir peteuy ini berada di antara desa tanagara dan Keduengang. Suatu siang hari saya berangkat dengan Junani, sementara mas Eko dan Amin To harus menepati janji untuk bertemu dengan orang pondok dan mereka menyusul kemudian. Oleh Junani saya dipertemukan dengan Sekdes Pasir Peteuy yang juga masih muda dan bujangan. Dialah yang mengantar aku menemui orang untuk saya wawancarai. Pada kesempatan itu saya bisa mewawamcarai lima (5) orang.

Saya bertemu dengan mas Eko dan Amin To di gubu salah seorang warga. Di sana saya bertemu dengan salah seorang yang terkenal dengan ramalannya. Mulai dari orang biasa sampai dengan Artis juga katanya pernah ke sini. Kami bertiga juga diramalnya. Ramalannya kadang mengundang tertawa karena bagi kami lucu. Seumpamanya saya diramal yang cocok menjadi penjual. Setelah ditanya penjual itu seperti apa, dia menjawab seperti wartawan katanya.

Karena terlalu capek setelah seharian saya wawancara dengan 5 orang, saya pulang lebih dahulu dengan Junani. Sedangkan mas Eko dan Amin to masih melanjutkan wawancara ke sejumlah warga.

Satu hari sebelum puasa, kami memutuskan pulang meski wawancara belum seluruhnya selesai. Pagi hari kami siap-siap mengemas seluruh pakean. Siang itu kami berpamit dengan tuan rumah dan tetangga sekitar dengan penuh haru karen orang-orang sini terlalu baik untuk ditinggalkan.

Tidak ada komentar: